Kerajaan Hulu Aik, Kerajaan Dayak Di Kalimantan Barat



Kerajaan Hulu Aik adalah kerajaan adalah kerajaaan asli Dayak satu-satunya yang masih bertahan hingga kini. Dipercayai sebagai kerajaan pertama yang berdiri di Kalimantan Barat, sehingga sering disebut sebagai proto Tanjungpura atau Tanjungpura kuno. 

Menurut data yang ada Kerajaan ini didirikan oleh Maniaka atau Sang Maniaka yang diperkirakan berdiri sekitar tahun 800 Masehi. Maniaka ini yang kemudian menurunkan raja-raja di kerajaan yang berada di Kalimantan Barat. 

Ketiadaan informasi yang mendetail tentang Maniaka membuat seperti tokoh mitologis meski namanya nama tercatat didalam buku Nagara Kertagama sebagai leluhur kerajaan Tanjungpura. ini kemudian di kutip oleh penulis Belanda seperti  H. von Dewall, 1862; J.P.J. Barth, 1896 dan H. J Degraf, 2002 dan sejarahwan Indonesia lainya.

Maniaka mempunyai anak Siak Bahulun atau yang dikenal sebagai Todungrusi yang terkenal bengis dan kejam terhadap mush-musuhnya. Siak Bahulun tidak mempunyai keturunan, yang kemudian mengangkat dua orang anak yang bernama Karamuning dan Karamuna. Kedua anak Todungrusi tersebut yang kemudian menurunkan raja-raja Tanjungpura dan Hulu Aik. 

Anak-anaknya ini juga menurunkan raja-raja diwilayah Labai Lawai, seperti Dayang Putung atau Putri Junjung Buih yang menikah dengan bangsawan dari Kerajaan Majapahit bernama Prabu Jaya atau Brawijaya yang kelak menurunkan raja-raja Tanjungpura serta Raja Baparung di Sukadana, Raja Likar di Meliau dan Raja Mancar di Tayan.

Wilayah kerajaannya era Todungrusi sebagaimana tercatat sejarah Indonesia Jawa (Kitab Negarakertagama karangan Mpu Prapanca) meliputi daerah yang dikenal dengan Labai Lawai, atau Laman Sembilan Domong Sepuluh (sekarang meliputi sebagian Kecamatan Meliau, Tayan Hilir dan Toba Kabupaten Sanggau hingga Kecamatan Simpang Hulu, Hulu Sungai, Sandai Kabupaten Ketapang).

Setelah Majapahit runtuh terjadi perpecahan diantara keluarga kerajaan, Terdapat dua faksi yang terlibat, Faksi yang dipimpin oleh Ukir dan Giri Kusuma. Faksi Giri Kusuma kemudian mendirikan kerajaan di muara Sungai Pawan. Sedangkan faksi Ukir tetap bertahan di hulu Sungai Krio dan tetap mempertahankan istana kerajaan. Ukir Kemudian menjadi raja yang begelar Patih Empu Garemeng. 

Giri Kusuma dan para pengikutnya kemudian menamakan tersebut dengan kerajaan Tanjungpura, sesuai dengan tempat yang mereka tempati, kerajaan inilah yang kita kenal dalam sejarah Indonesia. Pada masa Giri Kusuma juga Tanjungpura menjadi kerajaan Islam sedangkan Kerajaan Hulu Aik tetap menjadi kerajaan Hindu-Budha dan Agama asli Dayak. 

Karena letaknya yang berada dipedalaman sehingga membuat hubungan dengan kerajaan lain sulit karena daerah Kalimantan kala itu masih dikelilingi oleh hutan rimba, belum lagi di hilir terdapat kerajaan Tanjungpura yang tidak selalu bersahabat juga ancaman bajak laut di sekitar Selat Karimata membuat Kerajaan Hulu Aik menjadi tersisolasi dari dunia luar. Kerajaan hulu Aik tenggelam dalam sejarah Indonesia sebagai entitas kerajaan yang eksis. 

Meski demikian Kerajaan Hulu Aik masih tetap bertahan sebagai sebuah entitas negara meski jarang dikenal oleh dunia luar. Raja Hulu Ai adalah sebutan untuk pemimpin Kerajaan Hulu Aik. Wilayah Kerajaan Hulu Aik meliputi Pancur Sembore dan Tanjung Porikng, udik sungai Krio (kini masuk Desa Menyumbung, Kec. Sandai, Kab. Ketapang-Kalbar), sekitar tahun 1700-an. Pemimpin pertamanya Pang Ukir Empu Geremeng.

Patuh Empu Garemeng digantikan Bihukng Tiung. Sejak Bihukng inilah wilayah Pancur Sembore- Tanjung Porikng dinamakan kerajaan Hulu Aik. Bihukng sebagai raja I. Bihukng digantikan Bansa Pati (II), Ira Bansa (III), Temenggung Jambu (IV), Bebek (ayah Raja Singa Bansa, raja ke-5). Dan Raja Hulu Aik VI adalah Singa Bansa. Karena tidak ada wilyah kekuasaan yang jelas, pusat kerajaan Hulu Aik berpindah-pindah mengikuti siapa rajanya di sepanjang daerah aliran sungai Krio. Singa Bansa mengklaim sebagi raja Hulu Aik yang ke 52 berdasarkan urutan dari Maniaka. 

Raja Hulu Aik dan Istri



Saat ini Kerajaan Hulu Aik sudah menjadi entitas sebagai penjaga budaya Dayak. Pengaruh Kerajaan Hulu Aik secara budaya masih terasa hingga kini, khususnya di daerah Ketapang. 

Menurut Raja Hulu Aik, Petrus Singa  kerajaan Hulu Aik memiliki lima rutinitas adat:
Pertama, Bacampui Roba, upacara adat membakar ladang.
Kedua, Bacampui Makan Bayam-Sawi yakni, upacara adat makan sayur-sayuran. Ketiga, Bacampui Puyak Kanukng Padi yakni, upacara adat padi bunting.
Keempat, Bacampui Maharu Padi Baru, upacara adat makan beras baru.
Kelima, Maruba, membersihkan pusaka kerajaan Hulu Aik.

Selain itu Kerajaan Hulu Aik secara rutin menggelar ritual adat Maruba setiap tahun. Maruba ini adalah upacara adat membersihkan pusaka kerajaan Hulu Aik. Maruba kerajaan Hulu Aik ini diadakan setiap tahun pada tanggal 25 Juni. Di istana kerajaan, tersimpan benda-benda pusaka milik kerajaan seperti Keris Bosi Koling Tungkat Rakyat, sebilah keris dari besi kuning yang panjangnya 20 Cm. Keris ini dipercayai sebagai keris yang dipakai dan dititipkan Mahapatih Gajah Mada, dari Kerajaan Majapahit itu kepada Kerajaan Ulu Aik. Cukup banyak benda-benda pusaka lainnya di istana ini, yang dimandikan raja dan keluarganya melalui Upacara Maruba.

Raja Hulu Aik dan Keluarga bersama Edi Petebang (1998)


Sebagai penjaga Budaya Dayak, Kerajaan hulu Air memiliki peran yang besar hingga kini. Jika kita runtutan sejarah peranan Kerajaan Hulu Aik bisa dikatakan sebagai salah satu pilar pembentuk dan penjaga adat budaya Dayak di kabupaten Ketapang, khususnya dan Kalimantan pada umumnya. 


-- https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Tanjungpura
-- https://www.facebook.com/edi.petebang
-- https://www.facebook.com/yohanes.supriyadi.16


LihatTutupKomentar